♥ Kantung Ajaibku ♥
Minggu, September 16, 2007 @ 3:24 PM

My Obsession

“Pernahkan kalian punya seorang Nimo, obsesi kalian?”

Kalimat di atas sering muncul belakangan ini. Tentu saja untuk promosi film Cintapuccino. Film ini pada dasarnya menceritakan sebuah obsesi, dalam hal ini Nimo, seorang cowok yang menjadi cowok khayalan Rahmi. Namun ternyata Nimo ada di kehidupan nyata dan ‘dalam wujud nyatanya’ tak jauh berbeda dengan apa yang dibayangkan oleh Rahmi.
Singkat cerita diam-diam Rahmi mulai jatuh hati padanya dan perlahan-lahan menjadi obsesi. Dia selalu saja mengikuti apa yang dilakukan Nimo. Mulai dari jadi anggota Osis hingga memilih jurusan kuliah.

Namun Rahmi tak berani mengungkapkan perasaannya hingga mereka lulus kuliah dan berpisah dalam jangka waktu yang lama. Sampai suatu saat ketika Rahmi akan menikah dengan Raka (sudah membagikan undangan pernikahan), ketemulah dia dengan Nimo lagi. Ajaibnya kali ini Nimo mengenalinya dan jatuh cinta padanya.


Benar-benar ‘dreams comes true’. Cerita selanjutnya pun bisa ditebak. Rahmi bimbang menentukan pilihan, konflik-konflik antara dirinya dengan Raka dan kencan yang sering dia lakukan diam-diam dengan Nimo.
At least, lumayan sih film ini untuk refreshing.

“Jadi, pernahkan kalian punya obsesi??”

Gue pernah. Gue punya seorang Nimo di hati gue. Nimo yang benar-benar ada di dunia nyata namun hanya dalam imajinasi gue bisa memilikinya. Terkadang gue merasa kalau gue ini ‘sakit’. Gue sering berusaha berpikir rasional dan menegaskan pada diri sendiri jika itu cuma khayalan. Namun Nimoisme tetap bercokol kuat dalam hati gue.

Sering kali gue merasa tak ubahnya seperti idiot. Gue sampai pernah bertanya ke temen gue yang sekarang lagi kuliah di jurusan psikologi tentang Nimoisme akut gue. Hasilnya? Gue disuruh menghentikan kegiatan abnormal itu karena menurut dia kalau itu semakin dibiarin bisa-bisa akhirnya gue jadi ‘gila’ betulan.

Tapi bener-bener susah menyembuhkan Nimoisme gue. Walaupun saat itu gue bela-belain punya cowok dengan harapan penyakit ini bisa sembuh namun itu semua gagal total. Nimo sering menyambangi gue bahkan saat-saat gue dan cowok gue (yang nyata) lagi seneng-seneng.
Akhirnya perlahan-lahan gue menyadari, kenapa Nimoisme akut gue tidak pernah sembuh. Gue mendapatkan jawabannya. Gue belum mendapatkan seorang Nimo dalam dunia nyata.

Nimo yang sempurna secara fisik dan memiliki ‘good attitude’. Nimo yang punya tinggi sekitar 160 cm (mungil), berkulit putih, punya hidung mancung, alis matanya tebal, matanya selalu bersinar ramah ketika menatap gue, bibirnya tipis kemerahan dan profil wajahnya khas orang Mideterania.

Nimo yang selalu bilang ‘Ada apa’ saat gue terlihat murung. Nimo yang selalu memberikan bahunya untuk gue bersandar. Nimo yang selalu sabar, tak peduli melihat apa yang telah gue lakukan (walaupun gue telah mengkhianatinya dengan sejuta cowok). Nimo yang selalu menyemangati gue saat gue sedang jatuh. Nimo yang selalu ‘ada’ saat dibutuhkan. Dan hanya dengan menatap senyumnya gue bisa pulih.

Gue selalu merasa bahagia jika telah bertemu dengan dia. Dia seperti malaikat pelindung gue. Cowok yang selalu naik sepeda menuju lembah kecil di tepi sungai (tempat di mana kami selalu ketemu) dan hanya dengan senyum ramahnya dia selalu menguatkan gue.
Nimo tak pernah sekalipun mengeluh karena selama ini selalu gue jadiin ‘tempat sampah’ (tempat gue mengeluh). Dulu dia pernah bilang gini, “Aku seneng banget kamu mau cerita semuanya sama aku. Karena dengan begitu aku merasa berguna buat kamu. Bukan hanya sosok cowok yang mampir dalam alam mimpimu, naik sepeda menuju tepi sungai, duduk di sana dan menatap seorang cewek yang selalu duduk sendirian menatap matahari tenggelam,” lalu dia menatap gue dan tersenyum.

Terkadang gue merasa jika Nimo itu benar-benar ada. Hanya saja kami hanya ditakdirkan bertemu dalam alam mimpi. Gue bilang seperti itu karena Nimo bisa berpikir sendiri. Dia terkadang memberikan solusi buat gue yang selama ini tak pernah terpikir di kepala gue.
Jika benar Nimo itu hanya imajinasi gue, tentunya kami punya kesamaan pola pikir dan kepandaian yang setara. Namun ini berbeda, Nimo lebih cerdas dari gue. Itu terlihat dari caranya menengkan gue. Dia tak pernah sekali pun panik. Dia selalu bisa menangani segala macam keadaan dengan kepala dingin dan tidak terburu-buru.

Terima kasih untuk semuanya, Danny. Kamu bukan hanya cowok yang selalu duduk di sebelah gue di tepi sungai namun kamu seperti malaikat pelindung gue. Gue hanya berharap, suatu saat di alam nyata takdir mempertemukan kita sehingga gue bisa benar-benar menatap kilau matamu yang terbias cahaya matahari tenggelam.

kembali ke atas

Profile



Aluna Soenarto

22 female

Surabaya, East Java, Indonesia

Accounting 2005, Airlangga University


My Masterpiece



kalau pengen tau cuplikan ceritanya




Pingbox


Tagboard




Tweetz



Links



Credits

Layout by: LastSmile(: