♥ Kantung Ajaibku ♥
Jumat, Februari 15, 2008 @ 8:45 PM

Terlalu Cinta...


Beberapa hari ini suasana hati gue sedang buruk. Mulai dari kewajiban KKN yang mengharuskan gue bepergian ke daerah Wiyung nun jauh di sana hingga yang paling membuat hati gue sedih adalah hasil IP gue yang kebakaran. Ini adalah IP terhancur gue sepanjang gue berkuliah di FE UA.

Padahal kalau gue melihat kebelakang, justru di semester ini gue paling kerja keras. Gue bela-belain ikut berbagai les tambahan untuk menunjang nilai-nilai gue UAS karena gue sadar nilai UTS gue bener-bener nggak bisa diharapkan untuk mengatrol nilai. Namun, yang menjadi pemicu adalah berubahnya metode penilaian. Tahun ini penilaian didasarkan pada nilai mutlak. Sehingga jika di suatu kelas nilai yang paling tinggi cuma 65 ya itu nggak bisa jadi A karena nilai mutlak mengharuskan minimal 75 untuk bisa menjadi A.

Tapi gue nggak bisa begitu saja mengkambinghitamkan perubahan metode penilaian karena dengan begini maka terlihat jelas gimana kemampuan gue yang sesungguhnya. IP gue terjun bebas hingga mencapai satu koma.

Hilanglah iming-iming Macbook yang dijanjiin sama bokap. Padahal beberapa minggu terakhir gue sering banget mengunjungi Mac center di GM hanya sekedar memandang Mac book yang seksi abis itu tak lama lagi akan segera menjadi milik gue. Tapi oh tapi, gara-gara IP gue terjun bebas semua hadiah-hadiah itu sirna sudah. Gue cuma bisa gigit jari. Mau nangis kok nggak worthed banget. Lagi pula ini udah kejadian, mau nangis darah pun nggak mengubah IP gue jadi 4.

Tapi bukan hanya kejadian itu yang bikin hati gue tambah sakit lagi. Yah, gue minggu ini entah kenapa banyak digandrungi kaum lelaki. Mulai dari si ‘Dia yang Diharapkan’ yang hampir nubruk gue *entah sengaja atau enggak*; Dimas: ketua KKN gue yang melancarkan aksi SKSD cap kacang goreng ke gue; sampai yang paling panas adalah Onta yang berdiri tepat di sebelah gue, tubuh kami berdua berhimpitan, gue sampai bisa mencium jelas bau parfumnya, mendengar tarikan nafasnya dan gue rasanya pengen pingsan saja.

Gue dari dulu memang susah banget pakai akal sehat kalau sudah berhubungan dengan Onta tapi akhirnya sedikit-sedikit gue bisa mencoba realistis dan mengambil jalan yang benar. Tapi itu semua rasanya sia-sia saat gue bertemu dengan dia kembali. Rasanya semua yang gue kunci dalam diri gue agar tak merambat keluar bobol seketika. Gue nggak bisa untuk acuh padanya. Pasti keinginan untuk sekedar memandangnya muncul ke permukaan. Padahal dalam batin gue terjadi perang sengit antara hati dan pikiran gue.

Yang satu nggak ngebolehin racun itu merayap keluar dari hati gue. Namun yang lain bener-bener nggak sanggup menahan pesonanya. Seolah-olah Onta memiliki kekuatan magis yang selalu membuat gue ingin jatuh ke lubang yang sama untuk yang kesekian kali. Dia benar-benar mengacaukan sistem dalam diri gue.

Gue nggak tau apa yang salah sama gue. Kenapa gue masih saja susah untuk mengacuhkan dia. Gue pengen banget sekali-kali melihat Onta dan tak merasakan gejolak berdebum di jantung gue. Gue pengen banget melihatnya tak disertai dengan rasa salah tingkah. Gue bener-bener ingin sembuh dari penyakit ini.

Karena tak akan ada seorang pun yang senang dengan perasaan gue ini. Temen-temen gue, sodara-sodara gue, bahkan mungkin Onta sendiri juga nggak senang gue punya perasaan ini sama dia. Gue memang benar-benar salah jatuh cinta.

Kadang kalau gue berpikir tentang dirinya, mengingat kembali apa yang pernah terjadi diantara kami, bahkan adegan-adegan tanpa dialog dengan dirinya, saat kami mencoba curi-curi pandang saat pertama kali bertemu, saat semester satu kami sekelas dan hampir tiap hari selalu saling memperhatikan, bahkan kami selalu saling menyapa walaupun tanpa nada ataupun kerlingan mata. Karena gue merasa hati gue selalu menyapanya saat kami bertemu.

Kalau diingat, cinta gue dengan Onta memang yang paling tragis. Gue bahkan dulu pernah berikrar bahwa gue rela mencintainya walaupun dia nggak mencintai gue. Gue rela bertepuk sebelah tangan. Gue juga nggak mau repot-repot untuk membuat pengakuan kepada Onta jika selama ini gue sangat sayang padanya.

Bukan apa-apa, bagi gue Onta memang cowok yang sempurna namun tak ada gading yang tak retak. Dia ternyata cuma manusia biasa yang banyak kekurangan, bahkan mungkin banyak sekali kekurangannya. Dia tidak pintar, dia tidak rajin masuk kuliah, dia suka hura-hura, dia nggak rajin beribadah, suka minum-minum, dan satu kekurangannya yang sampai saat ini belum bisa gue terima. Itu yang membuat gue takut untuk mengakui jika gue memang mencintainya.

Awalnya memang begitu, gue benar-benar sakit hati dengannya. Patah hati walaupun cinta gue hanya bertepuk sebelah tangan. Namun, seperti kata Rosssa: Aku Terlalu Cinta Dia….

Nggak peduli sebusuk apa kelakuan dia di luar, gue bener-bener nggak bisa membencinya. Bahkan semakin gue tau segala kebusukannya, gue semakin sayang kepadanya. Itu jujur, gue bahkan tidak mengigau atau apa. Gue bener-bener sayang dengan dia dengan segala kekurangan dan kelebihannya.

Banyak yang bilang gue bego, gila, buang-buang waktu, salah jatuh cinta, dan makian lainnya. Bahkan sepupu gue, Keong, pernah bilang: Masih banyak cowok yang lebih beradab dan bermoral dari dia di luar sono. Bahkan mungkin cowok-cowok itu lebih rajin, lebih pandai, dan lebih menghargai cewek tapi kenapa elo malah menjatuhkan pilihan sama Onta. Padahal semestinya dia adalah pilihan terakhir elo jika nggak ada cowok lain di dunia.

Gue nggak tau. Gue nggak tau. Bener-bener nggak tau. Karena rasa itu timbul begitu saja. Gue tiba-tiba saja sayang sama dia dan nggak ingin ada sesuatu yang buruk menimpa dirinya.

Begitu gue cerita sama Eben tentang apa yang baru saja terjadi antara gue dan Onta dia marah besar. Gue tau jika dari dulu Eben nggak pernah suka kalau gue mulai membahas Onta. Dia selalu bilang kalau gue nggak sungguh-sungguh ingin sembuh dari Ontanisme ini.

Gue tau maksud Eben baik, dia nggak ingin gue sakit hati gara-gara Onta lagi karena cowok itu selalu saja membuat gue terluka, terluka, dan terluka lagi. Saat gue bilang ke Eben kalau gue ingin menyerah dengan semua desakan hati, dia langsung ngamuk.

“Loe mau jadi korban dia selanjutnya??! Loe mau jadi sarana pelampiasan nafsunya aja?! Atau loe memang pengen dicium sama dia? Kalau loe memang kepengen ya nggak pa-pa. Udah sono, telpon aja dia. Ajak janjian. Bukannya sampai sekarang loe masih nyimpen nomornya di henpon loe?!” dia bilang begitu.

Sakit rasanya mendengar Eben bilang begitu. Biasanya anak itu nyenengin, lucu, tapi kali ini jadi nyeremin dan omongannya bikin sakit ati banget. Gue hampir nangis ngedengernya.

“Asal tau aja, setelah dia puas sama loe. Setelah loe dicium, dipegang-pengang, atau bahkan ditidurin sama dia, loe bakalan dibuang kayak sampah. Apa loe mau begitu?? Iya?? Jawab gue!” Eben nyaris berteriak.

“Dia nggak seperti itu, Eben. Dia itu baik. Dia itu sebenernya baik,” gue berusaha membelanya bahkan gue nggak ngerti kenapa gue harus membela cowok yang benar-benar telah menyakiti gue.

“Iya baik kalau ada maunya aja. Onta itu nggak akan pernah bisa berubah. Dengerin itu! Cowok seperti itu nggak akan pernah berubah jadi baik. Sekali dia begitu, seterusnya akan selalu begitu. Come on, Lun! Bukannya loe mulai suka sama orang lain. Siapa itu namanya? Yang kemarin loe tunjukin alamat fs-nya ke gue itu. Gue rasa dia baik. Kenapa loe nggak nyoba sama dia dulu??”

“Iya, gue memang suka sama dia. Tapi dia itu mantannya temen gue. Gue nggak enak. Sungkan. Apalagi kata temen gue itu, si ‘dia yang diharapkan’ susah banget ngelupain mantannya. Gue kan juga nggak bisa aja tiba-tiba nyelonong masuk ke kehidupannya dia gitu aja dong!”

“Gue rasa loe lebih baik coba berhubungan sama si ‘dia yang diharapkan’ itu deh. Apa masalahnya kalau dia mantan temen loe?? Semua orang punya masa lalu. Masalah dia nggak bisa ngelupain mantannya itu juga butuh proses. Siapa tau dengan masuknya elo ke kehidupan dia, dia jadi bisa ngelupain mantannya.”

“Tapi kata Keong, ceweknya dulu cantik-cantik semua. Gue kan minder, Ben. Gue kan jelek!”

Tiba-tiba Eben ketawa histeris, “Tumben nyadar kalau jelek. Tapi cowok yang baik itu tidak menilai cewek dari fisik tapi hati hati. Kalau dia cantik tapi perek gimana?! Percaya deh sama gue, kayaknya si ‘Dia yang diharapkan’ itu udah mulai ada respon balik ke elo deh. Dari cerita-cerita loe dulu. Makanya cepetan deketin sebelum disamber orang.”

“Gue malu, Ben. Gue kan nggak kenal.”

“Masak loe kalah sama ketua KKN loe itu. Siapa namanya? Dimas bukan? Nah, dia kan punya cara jitu buat PDKT sama cewek. Loe juga gitu aja, belagak bego dan nanya: Rasanya gue pernah ketemu sama elo tapi dimana ya? Soalnya wajah loe familiar banget!! Bener-bener bego tuh ketua KKN loe itu. Caranya sok playboy kuno banget.”

Yak, itu adalah sepenggal omongan gue dengan Eben. Kalau gue udah mulai telpon-telponan sama cecunguk itu bisa berjam-jam bahkan bisa-bisa lupa mandi, makan, dan lupa kalau gue ada kuliah. Tapi gue seneng punya temen kayak dia walaupun dia agak sinting tapi dia bener-bener baik. Menurut gue, dialah orang yang paling mengerti gue. Makasih ya, Ben!!

NB: Buat Rossa, kalau nggak sengaja baca blog gue *tahun monyet mungkin*. Terima kasih ya bikin lagu Terlalu Cinta karena itu bener-bener mengekspresiin suasana hati gue.

Jangan dekat atau jangan datang kepadaku lagi
Aku semakin tersiksa karena tak memilikimu
Kucoba jalani hari dengan pengganti dirimu
Tapi hatiku selalu berpihak lagi padamu
Mengapa semua ini terjadi kepadaku

Tuhan, maafkan diri ini
Yang tak pernah bisa menjauh dari angan tentangnya
Namun apalah daya ini
Bila ternyata sesungguhnya aku terlalu cinta dia

kembali ke atas

Profile



Aluna Soenarto

22 female

Surabaya, East Java, Indonesia

Accounting 2005, Airlangga University


My Masterpiece



kalau pengen tau cuplikan ceritanya




Pingbox


Tagboard




Tweetz



Links



Credits

Layout by: LastSmile(: