Aku tidak tau mengapa aku harus salah jalan ketika berangkat menuju rumah sakit tempat dia diopname. Aku juga tidak tau kenapa aku harus keblalasan belokan beberapa kali sehingga membuatku terpaksa melewati jalan yang sama sekali asing dan jujur saja, aku bahkan tidak tau kemana arah jalan tersebut. Aku pun bingung, kenapa aku harus melewati Delta Plaza untuk menuju ke Husada Utama padahal rumahku berada di timur, sedangkan Delta Plaza lebih ke barat daripada Husada Utama? Intinya, hanya untuk datang ke tempatnya, aku harus kesasar. Padahal sebelum-sebelumnya aku tidak pernah salah jalan untuk menuju ke rumah sakit itu.
Aku juga bingung kenapa aku harus datang 30 menit duluan daripada teman-temanku yang lain, padahal biasanya justru merekalah yang sering menantiku karena aku memperlakukan jam berdasarkan WITA (sejam lebih lambat). Tapi kali ini aku bahkan sudah bersiap sejak pagi, atau bahkan sejak semalam karena lagi-lagi aku tidak bisa tidur. Dan akhirnya, karena kepagian, aku hanya bisa duduk di sofa lobi rumah sakit, menunggu. Saat itulah aku berpikir bahwa dalam gedung yang sama, dia terbaring berjuang untuk hidup. Dia bahkan mungkin berjuang dengan segenap tenaganya.
Seperti layaknya sebuah gosip, penyebab sakitnya dia pun menimbulkan berbagai macam spekulasi. Ada yang berkata bahwa dia makan kepiting selama seminggu penuh sebelum akhirnya kolaps, ada juga yang bilang bahwa dia terjatuh di kamar mandi dan saat terjatuh batang otaknya membentur sesuatu, bahkan ada juga spekulasi konyol yang berkata bahwa dia ketagihan obat sakit kepala sehingga akhirnya OD.
Masih menerka-nerka asumsi siapa yang benar, lift yang kutumpangi akhirnya terbuka dan saat itulah (entah itu adalah takdir atau hanya kebetulan), aku berpapasan dengan sebuah rombongan yang tengah mengiringi seorang yang terbaring terpejam di atas kasur rumah sakit dengan monitor detak jantung tergeletak di sisi tempat tidur, dan dua orang suster sibuk memompakan portable respirator.
Deasy yang ada di sebelahku berkata pelan, “Itu orangnya sudah meninggal ya? Kok matanya tertutup gitu?”
Aku hanya menjawab dalam hati, “Tidak, dia tidak mati. Dia cuma tidak sadarkan diri karena monitor detak jantung menampilkan respon detak jantungnya yang masih bekerja.”
Namun, entah mengapa aku masih saja menatap rombongan tersebut yang tengah menunggu lift pasien. Aku bahkan fokus pada pasien itu. Hatiku bertanya-tanya, “Apa itu dia? Tapi kenapa dia tampak sangat berbeda sekali? Berbeda jauh dengan tiga tahun yang lalu ketika aku terakhir kali melihatnya.”
Aku bahkan sempat melihat dagunya mulai tumbuh bulu-bulu pendek yang menandakan bahwa orang itu tampak lama tidak bercukur (artinya dia telah lama tidak sadarkan diri). Anehnya, rombonganku dan teman-teman berhenti di tempat itu. Sepertinya ada sebuah peringatan tak kasat mata yang memberi tahu kami bahwa itu dirinya walaupun beberapa teman lain bahkan lupa bagaimana wajahnya.
Dan aku hanya bisa mematung di tempatku berdiri, menatapnya, dan berusaha meyakinkan diriku sendiri bahwa dia bukan Yangki. Pasti bukan. Karena Yangki pasti tidak berada di kondisi separah ini. Tidak sadarkan diri, dengan kabel-kabel membelit tubuhnya dan hanya untuk bernafas saja harus dibantu dengan respirator. Lalu aku melihat kedua matanya yang terpejam, saat itulah aku baru bisa menerima kenyataan bahwa sepertinya dia memang Yangki. Aku sangat mengenal mata itu walaupun dalam keadaan terpejam dan seluruh fisik tubuhnya yang lain telah berubah. Lalu, entah apakah aku yang hanya berhalusinasi ataukah memang terjadi, aku melihat sudut matanya berair. Seperti orang menangis, entah itu karena kesakitan, atau karena dia menyadari bahwa teman-temannya datang menjenguknya.
Aku hanya bisa berkata dalam hati, “Yangki, please open your eyes…”
Kemudian, salah satu teman kami, Brima, bertanya pada seorang bapak-bapak berkaca mata yang sedari tadi intens menatap Yangki dan matanya berkaca-kaca. Samar-samar aku mendengar dia berkata, “Iya, dia memang Yangki.”
Saat itulah aku merasa ada seseorang yang menggenggam tanganku dari belakang, seolah ingin menguatkanku, dan aku tidak tau siapa orang itu karena rasanya aku lupa bagaimana caranya menoleh. Aku hanya diam sambil menatap terus pada dirinya yang tengah terbaring, terpejam, dengan perban terbalut di kepalanya yang bertulisan “JANGAN DITEKAN!!! RENTAN KARENA TIDAK BERTULANG!!!”
Pelan-pelan pandanganku mengabur, aku sadar, cepat atau lambat aku pasti akan menangis tapi aku berusaha untuk menghalau rasa itu. Aku berusaha seceria mungkin karena aku tidak ingin menunjukkan pada teman-temanku bahwa sebenarnya aku terluka, aku sakit melihatnya seperti ini.
Aku sendiri juga bingung mengapa aku harus segalau ini, mengapa aku harus merasakan sakit ini, mengapa aku harus peduli padanya, karena kami berdua bahkan bukan pasangan ataupun mantan pasangan. Kami hanya teman biasa. Oke, kalau dari sisiku lebih kepada teman yang sering kupandangi diam-diam. Tapi itu bukan suatu alasan untuk membuatku peduli padanya sebesar ini, kan?
Sejam kemudian, ayahnya menemui kami setelah selesai mengantar Yangki melakukan scan. Ayahnya banyak bercerita tentang bagaimana keadaan itu menimpanya dan jujur saja, aku tidak begitu ingat apa yang beliau katakan karena aku hanya fokus pada jendela berkelambu di mana di sisi seberangnya Yangki tengah terbaring di sana. Kami tidak diperbolehkan keluarganya untuk masuk kedalam ruang ICU karena beberapa hari yang lalu sempat terjadi aksiden yang mengakibatkan tekanan darahnya naik lagi menjadi 220 (yeah, tekanan darahnya bahkan sebelumnya pernah mencapai 230 sebelum akhirnya terjadi pecah pembuluh darah otak dan membuatnya koma hingga kini) gara-gara seorang penjenguk berkata sesuatu yang tidak mengenakkan hatinya. Aku berasumsi bahwa walaupun kesadarannya hilang, namun dia masih bisa mendengar sehingga bisa merespon.
Entah berapa lama kami menanti sampai akhirnya suster membuka kelambu itu. Dan seketika itu perlahan aku berjalan menuju kaca jendela, melihatnya, dan tidak mempercayai apa yang kulihat bahwa sebelumnya dia adalah temanku, orang yang kukenal. Kini dia terbaring tak sadarkan diri dengan tulisan mengerikan di perban kepalanya (karena batok kepalanya masih belum dikembalikan untuk mengantisipasi terjadinya pembengkakan pasca operasi).
Dia adalah Yangki. Yangki yang raja bolos. Yangki yang tidak begitu banyak punya teman di kampus karena dia tipe penyendiri (bahkan papanya pun bertanya-tanya kenapa selama ini dia hanya bergaul dengan teman SMA saja. “Mana teman-teman kuliahmu?” papanya mengulangi pertanyaannya untuk Yangki di hadapan kami). Yangki yang selama beberapa waktu mampu mengalihkan perhatian dan sakit hatiku terhadap Ricky.
Saat melihatnya, berada dekat dengannya walau harus dipisahkan oleh jendela yang konyol itu, aku sempat berbicara dalam hati, “Yangki, ini aku Okky. Berjuang ya. Jangan pernah menyerah. Karena aku tau kamu di sana (entah dimana kamu sekarang) berusaha keras untuk menguasai tubuhmu kembali. Kamu mungkin sudah lupa denganku, tapi aku tidak pernah lupa padamu. Jadi, aku mohon…bukalah matamu. Apa kamu tidak tau, jika kamu membuka mata, kamu bisa melihat langit biru dari sini. Bukankah kamu sangat menyukai memandang langit?”
Langit ini adalah dia...
Tapi dia tetap tidak membuka mata. Perlahan, aku pun mundur teratur. Aku hanya terdiam. Lalu aku balik badan dan menatap langit yang saat itu memang sangat indah: biru bersih dengan awan putih yang menutupi separuhnya.
Aku mengeluarkan ponsel kameraku dan memotret langit biru itu. Karena aku berpikir bahwa suatu saat nanti, saat aku memandang langit itu, aku akan teringat padanya, atau mungkin aku bisa mengirimkan padanya untuk menunjukkan betapa indahnya langit biru ketika dia tidak bisa melihatnya. Namun, dia bisa melihatnya dari kedua mataku….
Yangki, tetaplah berjuang… karena langit itu selalu biru…
Ternyata cowok itu juga manusia. Dia bisa ngerasa nggak pede, takut ditolak, putus asa karena cinta, dan kelimpungan gara-gara bingung gimana caranya agar hanya dirinyalah yang jadi penguasa hati si cewek. Cowok bisa juga pusing tujuh keliling gara-gara mikirin cewek (gue pikir cuma cewek yang begitu). Dan cowok juga bisa menangis karena cinta.
Selama ini ternyata gue terlalu naïf dengan membuat deskripsi bahwa hanya cewek yang benar-benar menggunakan hati untuk urusan “hati”. Nyatanya, cowok juga melakukannya. Tapi tampaknya cowok selalu lebih kuat, lebih bisa bersikap tidak peduli, dan seolah hatinya itu tidak peka. Yeah, itu merupakan proteksi alami yang dibuat oleh kaum Adam agar tidak dijajah oleh kaum Hawa. Atau mungkin karena dari awal, sejak dilahirkan, cowok selalu didik sebagai seorang “pelindung” yang mana dia harus terlihat kokoh dan kuat. Itu sebabnya ada orang yang mengistilahkan begini: lebih banyak cowok bajingan daripada cewek yang tidak pernah jatuh cinta.
the boys secret: they afraid to lose his center of life
Gue pernah nanya sama teman gue yang dikenal sangat playboy dan suka gonta-ganti cewek. Gue tanya gini: Apa kamu nggak capek berkelakuan seperti ini terus? Apa kamu nggak kepingin punya suatu hubungan jangka panjang yang bisa diandalkan?
Lalu dia menjawab dengan sebuah jawaban yang tidak pernah gue sangka. Dia bilang gini: Aku takut jatuh cinta. Nggak tau apa jadinya kalau itu sampai menimpaku.
Jadi sebenarnya cowok playboy, tukang gonta-ganti cewek, kucing garong, atau apalah istilahnya, hanyalah orang-orang yang rapuh. Mereka takut kehilangan. Karena mereka berpikir jika kehilangan seseorang yang menjadi pusat dari kehidupannya (cewek itu), pasti kehidupannya bakal berantakan. Gampangnya coba pikirin bagaimana jika secara mendadak matahari yang menjadi pusat revolusi planet-planet menghilang dan tidak pernah kembali? Bisa dipastikan semuanya akan kehilangan kendali, saling bertubrukan, dan akhirnya kiamat.
Serem,
Tapi ada sebuah saran dari gue buat cowok-cowok yang takut jatuh cinta karena nggak siap nanggung resikonya: Be gentleman. Cari cintamu, kejar dia, nyatakan padanya, dan cintai dia dengan setulus hatimu. Karena pada dasarnya cewek juga punya kekhawatiran yang serupa. Hanya saja cewek selalu berharap bahwa suatu saat ada seorang gentleman yang akan menaklukkan dan mencintainya dengan setulus hati. Jadi, tentukan pilihanmu: menjadi gentleman itu atau hanya berakhir sebagai kucing garong…
Love,
Aluna